Thursday, January 19, 2012

Nabi Khidir AS antara hidup dan mati

Banyak kisah-kisah tentang Nabi Khidir yang ramai dibicarakan orang, banyak kontroversi tentang kemunculannya, sehingga hal itu mendorong rasa ingin tahu tentang hakikat sebenarnya. Ada yang menyatakan Nabi Khidir masih hidup, adapula yang menyatakan Khidir sekarang berdiam di sebuah pulau, ada pula yang menyatakan bahwa setiap musim haji Nabi Khidir rutin mengunjungi padang Arafah. Entah khidir siapa dan yang mana? Tapi yang jelas begitulah khurafat dan takhayyul berkembang di tengah masyarakat kita. Lucunya, banyak pula orang-orang yang sangat mempercayai perkara-perkara tersebut.
Semua ini berpangkal dari kesalahpahaman mereka tentang hakekat Nabi Khidir. Terlebih lagi orang-orang ekstrim dari kalangan pengikut tarekat dan tasawwuf yang membumbui berbagai macam dongeng dan cerita bohong tentang Khidir. Sebagian di antara mereka, ada yang mengaku telah bertemu dengan Khidir, berbicara dengannya dan mendapat wasiat dan ilham darinya. Misalnya di tanah air kita ini, ada sebagian orang yang mengaku telah bertemu dengan Khidir dan mengambil bacaan-bacaan shalawat, wirid-wirid dan dzikir dari Khidir secara langsung, tanpa perantara, atau melalui mimpi. Bahkan ada pula yang mengaku dialah Nabi Khidir -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Semua ini adalah keyakinan batil!!
Mengenai hidup atau wafatnya Khidir, orang-orang berselisih. Ada yang menyatakan dia masih hidup. Tetapi ada juga yang menyatakan bahwa dia telah lama meninggal berdasarkan dalil-dalil dari Al-Kitab dan Sunnah. Ini merupakan pendapat para Ahli Hadits. Karena, tidak ada satupun nash yang shahih, baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dapat dijadikan pegangan bahwa Khidir masih hidup. Bahkan banyak dalil yang menyatakan ia telah meninggal.
Jika kita mengadakan riset ilmiah, maka kita akan mendapatkan Al-Qur’an dan Sunnah menjelaskan bahwa Nabi Khidhir telah meninggal dunia.
Al-Allamah Ibnul Jauziy-rahimahullah- berkata, “Dalil yang menunjukkan bahwa Nabi Khidir sudah tidak ada di dunia adalah empat perkara; Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ (kesepakatan) ulama’ muhaqqiqin, dan dalil aqliy”. [Lihat Al-Manar Al-Munif (hal. 69)]
Di antaranya dalil-dalil itu:
Allah -Ta’ala- berfirman,
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُو
“Kami tidak menjadikan kehidupan abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad). Maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal”. (QS.Al-Anbiya`: 34)
Imam Abul Faraj Abdur Rahman Ibnul Jauzy-rahimahullah- berkata, “Khidhir, jika dia itu seorang manusia, maka sungguh ia telah masuk dalam keumuman (ayat) ini tanpa ada keraguan. Seorang tidak boleh mengkhususkannya dari keumuman itu, kecuali dengan dalil yang shahih”. [Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah (1/334), cet. Maktabah Al-Ma’arif]
Kemudian Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir-rahimahullah- menguatkan ucapan Ibnul Jauziy tadi seraya berkata, “Asalnya memang tidak boleh mengkhususkannya sampai dalil telah nyata. Sementara tidak disebutkan adanya dalil yang mengkhususkannya dari seorang yang ma’shum yang wajib diterima”. [Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah (1/334), cet. Maktabah Al-Ma’arif ]
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا ءَاتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ قَالَ ءَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُوا أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman, “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab,“Kami mengakui”. Allah berfirman, “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. (QS. Al-Imran: 81)
Al-Hafizh Ibnu Katsir menukil dari Ibnu Abbas-radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata saat menafsirkan ayat ini, “Allah tidak mengutus seorang nabi di antara para nabi, kecuali Dia mengambil perjanjian padanya. Jika Allah mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam- sedang nabi itu hidup-, maka ia (nabi itu) betul-betul harus beriman kepada beliau, dan menolongnya”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1/565)]
Jika Khidir masih hidup, tentunya ia tidak boleh menunda-nunda keimanannya kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Ia harus mengikuti Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, berjihad bersamanya dan menyampaikan dakwah beliau. Ini merupakan perjanjian Allah kepada seluruh para nabi dan rasul sebagaimana yang tersebut dalam QS. Al-Imran ayat 81 di atas.
Ini menunjukkan kepada kita bahwa wajib bagi seorang nabi dan rasul untuk menolong dan beriman kepada Rasulullah Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Bahkan Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- menegaskan bahwa andaikan Nabi Musa -’alaihis salam-, yang jauh lebih mulia dari Nabi Khidir masih hidup, maka ia harus mengikuti Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam- .
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
لَوْ أَنَّ مُوْسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلاَّ أَنْ يَتَّبِعَنِيْ
“Andaikan Musa hidup, tentunya tidak mungkin baginya, kecuali harus mengikutiku”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (3/387), Ad-Darimiy dalam As-Sunan (1/115), Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (5/2), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Al-Ilm (2/42), dan lainnya. Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa’ (1589)]
Sudah dimaklumi, tidak ada satu pun riwayat shahih ataupun hasan -yang dapat membuat jiwa tenang- menyebutkan bahwa Khidir pernah bertemu dengan Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, tidak pula pernah ikut bersama Rasulullah dalam berbagai peperangan.
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوْسَةٍ الْيَوْمَ تَأْتِي عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ وَهِيَ حَيَّةٌ يَوْمَئِذٍ
“Tidak ada satu jiwa pun yang hidup pada hari ini telah lewat 100 tahun, sedang ia hidup pada hari itu”. [HR. Muslim dalam Shahih- nya (4/1966)]
Allamah Ibnu Baththal-rahimahullah- berkata menerangkan makna hadits ini, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya memaksudkan bahwa dalam jangka waktu ini suatu generasi telah punah”. [Lihat Fathul Bari (1/256) karya Al-Hafizh Ibnu Hajar]
Al-Imam Abu Abdillah Al-Qurthubiy-rahimahullah- berkata dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (11/41), “Sesungguhnya hadits ini termasuk dalil yang memutuskan tentang kematian Nabi Khidir sekarang”.
Andaikan Nabi Khidir masih hidup, tentu ia akan datang kepada Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk menyatakan keislamannya dan akan menolong beliau dalam berdakwah dan berperang membela Islam. Tidak mungkin ada seorang Nabi pun yang masih hidup, lantas tidak datang kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk berbai’at, menyatakan keislamannya, dan berjihad bersama beliau.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
اَللَّهُمَّ إِنْ تَهْلِكَ هَذِهِ الْعِصَابَةُ لاَ تُعْبَدْ فِيْ اْلأَرْضِ
“Ya Allah, jika pasukan ini hancur, maka engkau tidak akan disembah lagi dimuka bumi”. [HR. Muslim dalam Kitab Al-Jihad, Bab: Al-Imdad bil Mala’ikah fi Ghazwah Badr (3/1383)]
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdil Halim Al-Harraniy-rahimahullah- berkata ketika ditanya tentang hadits di atas, “Andaikan Khidir masih hidup, maka wajib baginya untuk datang kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan berjihad di hadapannya, serta belajar dari beliau (Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-). Sungguh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda dalam perang Badar, “Ya Allah, jika pasukan ini hancur, maka engkau tidak akan disembah lagi dimuka bumi”. Pasukan kaum muslimin waktu itu sebanyak 313 personil. Telah dikenal nama mereka, nama orang tua, dan qabilah mereka. Lantas dimanakah Khidir pada saat itu?” [Lihat Al-Manar Al-Munif (hal. 68)]
Adapun dalil-dalil berupa hadits-hadits marfu’, dan mauquf yang menyebutkan tentang hidupnya Nabi Khidir sampai hari ini, maka hadits-hadits itu lemah, bahkan palsu, tidak bisa dijadikan hujjah dan dalil dalam menetapkan hukum, apalagi keyakinan (aqidah).
Al-Imam Ibrahim bin Ishaq Al-Harbiy -rahimahullah- berkata, “Tidak ada yang menyebarkan berita-berita seperti ini (yakni tentang hidupnya Khidir) di antara manusia, kecuali setan”. [Lihat Al-Maudhu’at (1/199) dan Ruh Al-Ma’aniy (15/321) karya Al-Alusiy]
Ibnul Munadiy berkata,“Aku telah mengadakan riset tentang hidupnya Khidir, apakah ia masih ada ataukah tidak, maka tiba-tiba kebanyakan orang-orang bodoh tertipu bahwa ia masih hidup karena hadits-hadits (lemah) yang dirwayatkan dalam hal tersebut”. [Lihat Az-Zahr (hal. 38)]
Ibnul Jauziy setelah membawakan beberapa hadits tentang hidupnya Nabi Khidir berkata, “Hadits-hadits ini adalah batil”. [Lihat Al-Maudhu’at (1/195-197)]
Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah-rahimahullah- berkata, “Hadits-hadits yang disebutkan di dalamnya tentang Khidir, dan hidupnya, semuanya adalah dusta (palsu). Tidak shahih satu hadits pun tentang hidupnya Nabi Khidir”. [Lihat Al-Manar Al-Munif (hal. 67)]
Seorang ulama Syafi’iyyah, Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata setelah membawakan hadits dan kisah tentang hidupnya Khidir, “Riwayat-riwayat, dan hikayat-hikayat ini merupakan sandaran orang yang berpendapat tentang hidupnya Nabi Khidir sampai hari ini. Semua hadits-hadits yang marfu’ ini adalah dha’if jiddan (lemah sekali), tidak bisa dijadikan hujjah dalam urusan agama”. [Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah (1/334)]
Abul Khaththab Ibnu Dihyah Al-Andalusiy-rahimahullah- berkata, “Tidak terbukti tentang pertemuan Nabi Khidir bersama dengan seorang nabi, kecuali bersama Musa, sebagaimana Allah -Ta’ala- telah kisahkan tentang berita keduanya. Semua berita tentang hidupnya tak ada yang shahih sedikitpun berdasarkan kesepakatan para penukil hadits (ahli hadits). Hal itu hanyalah disebutkan oleh orang yang meriwayatkan berita tersebut, dan tidak menyebutkan penyakitnya, entah karena ia tidak mengetahuinya, atau karena jelasnya penyakit berita tersebut di sisi para ahli hadits”. [Lihat Az-Zahr An-Nadhir (hal. 32)]
Inilah beberapa dalil, dan komentar para ulama, semuanya menyatakan Nabi Khidir tidak hidup lagi atau sudah meninggal. Nyatalah kebatilan orang yang mengaku bertemu dengan Nabi Khidir untuk menerima ajaran di luar ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Bagaimana mungkin Khidir mengajarkan suatu ajaran di luar syari’at Nabi Muhammad -Shalallahu ‘alaihi wasallam-??! Itu pasti bukan Nabi Khidir, tapi setan yang ingin menyesatkan manusia.

Adolf Hitler

Adolf Hitler…Siapa yang tak kenal sosok manusia yang satu ini? Cerita akan kekejamannya dengan pasukan NAZInya sudah terkenal seantero bumi. Namun sayangnya, banyak dari cerita dan sejarah tentang Hitler ini yang dimodifikasi demi kepentingan politik saat ini.
Adolf Hitler telah dituduh melakukan suatu tindakan genosida (pembersihan etnis/etnic cleansing) terhadap etnis Yahudi. Untuk lebih mendramatisir tindakan ini, peradaban barat memberi nama khusus, yaitu tindakan HOLOCAUST. Dikatakan bahwa Holocaust telah menelan korban sebanyak kurang lebih 6 juta orang Yahudi.
Sebenarnya ada banyak hal yang meragukan dan membingungkan dari cerita dongeng Holocaust ini. Semua sanggahan mengenai ketidak absahan cerita Holocaust sebenarnya jauh lebih masuk akal dari cerita Holocaust itu sendiri. Jika saja dunia mau menerima kenyataan berdasarkan bukti-bukti yang ada dan eksis, seharusnya cerita Holocaust ini masuk ke keranjang sampah ilmu sejarah.
Menurut cerita (terutama pendukung cerita Holocaust: YAHUDI), Holocaust telah menelan korban jiwa sebanyak 6 juta orang Yahudi. Padahal menurut catatan kependudukan tiap-tiap negara Eropa waktu itu, akumulasi jumlah orang-orang Yahudi di penjuru Eropa tidak sampai 3 juta orang! Lalu darimana angka 6 juta ini didapat? Kejanggalan berikutnya pun muncul. Selama lebih dari setengah abad ini, tidak ada satupun dokumen yang ditemukan dari pihak kaum NAZI (Jerman) yang menyebut mengenai pembantain massal etnis Yahudi. Seakan-akan semua catatan, notebook, memo atau dokumen resmi pemerintahan NAZI hilang ditelan bumi.
Belum selesai sampai sini, kejanggalan berikutnyapun muncul. Tahun terjadinya Holocaust adalah tahun 1941-1945, setengah abad yang lalu. Waktu itu teknologi sangat lah terbatas bila dibandingkan saat ini. Yang menjadi pertanyaan: cukupkah waktu 5 tahun itu untuk mengumpulkan 6 juta orang Yahudi dari seluruh daratan Eropa? mengingat alat transportasi saat itu sangatlah terbatas ditambah keadaan perang yang chaos. Apakah NAZI mempunyai teknologi sedemikian canggih sehingga mampu mengumpulkan 6 juta Yahudi dari seluruh Eropa untuk kemudian dibantai di Kamp Konsentrasi yang berada di sekitar Jerman? Ditambah saat itu Jerman sedang berperang dengan 3 negara super: Amerika, Inggris dan Soviet. Apakah masih ada “waktu” dan kesempatan untuk mencari-cari dan mengangkut jutaan manusia dari Jutaan Hektar tanah Eropa?
Masih banyak bukti-bukti lain yang “menganggu” cerita Holocaust ini. Namun anehnya, walaupun sudah setengah abad berlalu, cerita Holocaust masih dianggap suatu “Kebenaran mutlak” yang tabu untuk ditolak atau disanggah kebenarannya.
Lalu kita andaikan jika memang Holocaust ini memang terjadi, jika Holocaust memang telah membunuh 6 juta manusia. Lalu apa arti jumlah ini bila dibanding jumlah penduduk yang dibantai oleh Mao Tse Tung? Apa arti jumlah 6 juta bila dibandingkan orang yang dibantai oleh Joseph Stalin? Mengapa cerita mengenai Hitler, NAZI dan Holocaustnya dianggap suatu Tabu? Apakah dibalik semua ini ada suatu permainan politik atau memang murni kenyataan?